Iman
mengerling Lily yang sudah tersedu-sedan menangis menonton filem A Walk To
Remember, lakonan Shane West dan Mandy Moore. Tisu di atas meja dicapai lalu
dihulurkan kepada Lily, “Awak ni, tengok hindustan menangis. Tengok cerita ni
beratus kali pun menangis.”
Lily mencapai tisu dari tangan Iman lantas dia mengesat air matanya,
“Cerita ni sedihlah.”
“Saya tahu, tapi takkan setiap kali tengok setiap kali itulah awak nak
menangis?”
“Dah air mata saya nak meleleh.
Nak buat macam mana? Saya suka hero cerita ni sebab walaupun heroin dia dah
mati, dia tetap setia dengan heroin tu. Walaupun perempuan tu dah tak ada,
cinta dia tetap hidup, tetap membara.”
Iman telan liur terasa kesa. Kata-kata Lily itu bagai menyindir dia
walaupun Lily mungkin tak memaksudkan apa-apa dengan kata-katanya itu namun dia
tetap terasa, “I’m sorry, Lily...”
“Hmm...?” Lily memandang Iman, “Awak ada cakap apa-apa ke?”
Iman menggeleng, “Nothing. Awak salah dengar kot.”
“What is your favourite part in the movie, Iman?”
Iman senyum, “The moment where the guy propose to the girl.”
“Saya pun suka part tu! It was beautiful! The way he propose, the way
she looked at him... nampak macam betul-betul dia orang love each other.”
“So, lepas ni nak tengok cerita apa pulak?” Iman jungkit kening.
Iman menggeleng, “Awaklah pilih. Saya pilih karang, awak banyak sangat
komennya.”
Lily ketawa lantas kotak berisi dvd diitarik, “Okey. Saya tarik dvd ni
random aje eh?”
Iman ketawa lantas menggeleng Lily ni, macam budak-budak, “Okey.”
Sambil menutup mata, Lily menarik sekeping dvd. Iman dah tepuk dahi,
Takkanlah! Lily pula membuka mata dan dia tengok dvd di tangannya lantas dia
ketawa, “Ada Apa Dengan Cinta?”
“Seriously?”
“Awak dah cakap okey tadi...” Lily senyum, sambil cuba menahan ketawa.
“Awak memang tahu eh yang dvd cerita ni dekat situ?” ujar Iman, serius.
Lily ketawa! “Mana ada! Saya kan ambik random aje tadi.”
“Fine! Rangga pun Ranggalah,” Iman dah bersandar pada sofa. Lily pula ketawa
sebelum bangun menukar dvd yang ada di dalam DVD player dengan dvd di
tangannya.
“Ku lari
ke hutan kemudian menyanyiku, ku lari ke pantai kemudian teriakku, sepi sepi
dan sendiri, aku benci, aku ingin bingar, aku mau di pasar, bosan aku dengan
penat, dan enyah saja kau pekat, seperti berjelaga jika ku sendiri, pecahkan
saja gelasnya, biar ramai, biar mengaduh sampai gaduh, ah... ada malaikat
menyulam jaring laba-laba belang, di tembok keraton putih, kenapa tak goyangkan
saja loncengnya, biar terdera, atau aku harus lari ke hutan... belok ke pantai?”
Lily mengerling Iman lalu keningnya dijungkit.
Iman ketawa, “Awak sepatutnya jadi Cinta, bukan Rangga.”
Lily kerutkan dahinya, “Saya tak ingat puisi Cinta. Puisi Rangga yang
satu lagi pun saya tak ingat.”
Iman berdehem seketika sebelum memandang Lily, “Perempuan
datang atas nama cinta
bunda pergi karna cinta, digenangi air racun jingga adalah wajahmu, seperti bulan lelap tidur di hatimu, yang berdinding kelam dan kedinginan, ada apa dengannya, meninggalkan hati untuk dicaci, lalu sekali ini aku melihat karya surga, dari mata seorang hawa, ada apa dengan cinta, tapi, aku pasti akan kembali, dalam satu purnama, untuk mempertanyakan kembali cintanya, bukan untuknya, bukan untuk siapa, tapi untukku, karena aku ingin kamu, itu saja.”
bunda pergi karna cinta, digenangi air racun jingga adalah wajahmu, seperti bulan lelap tidur di hatimu, yang berdinding kelam dan kedinginan, ada apa dengannya, meninggalkan hati untuk dicaci, lalu sekali ini aku melihat karya surga, dari mata seorang hawa, ada apa dengan cinta, tapi, aku pasti akan kembali, dalam satu purnama, untuk mempertanyakan kembali cintanya, bukan untuknya, bukan untuk siapa, tapi untukku, karena aku ingin kamu, itu saja.”
“Konon tak suka cerita ni tapi puisi dia bukan main awak hafal.”
Iman ketawa, “Saya tak suka cerita ni tapi puisi dia saya suka.”
“Iman...”
“Ya?”
“Cerita seterusnya awak pilih. Saya serius,” Lily senyum.
“Okey. Tapi jangan menyesal,” Iman jungkit kening.
Lily mencebikkan bibirnya, “Takkannya.”
Iman capai kotak berisi dvd lalu diselongkar, “This one!”
Lily kerut dahi, “Tak naklah Chandramukhi!”
“Awak kata awak tak menyesal kalau saya pilih.”
“Saya takut...”
“Saya kan ada?” Iman menoleh pada Lily.
Lily gigit bibir lantas dia mengangguk, “Tapi waktu movie ni terpasang,
saya nak peluk awak.”
Iman ketawa, “Okey!”
Sebaik saja cerita itu dipasang, Lily dengan pantas memeluk Iman.
Wajahnya disorokkan pada lengan Iman. Takut sangat!
Sejam kemudian, kedengaran dengkuran halus yang keluar dari Lily. Iman
menoleh pada Lily yang sudah terlena di bahunya. Sempat lagi tidur? Alat
kawalan jauh dvd player diambil lantas butang stop ditekan. Alat kawalan jauh
televisyen pula diambil lantas dia terus tekan butang off di atas alat tersebut
sebelum dia memejamkan matanya sambil memeluk Lily.
Lily
terjaga saat azan Subuh berkumandang dari surau berdekatan perumahan mereka.
Baru dia nak bangun, dia tersedar yang dia sedang berbaring di sebelah Iman di
atas sofa. Tangan Iman pula melingkari tubuhnya, menghalangnya dari terjatuh ke
lantai.
Lily mengerdipkan matanya berkali-kali, “Iman...”
Tak ada balasan. Iman masih enak melayari mimpi.
“Iman...” Lily menguatkan sedikit suaranya, dengan harapan dapat
mengejutkan Iman.
“Hmm...?”
“Bangunlah, awak...”
Iman membuka matanya sedikit, “Good morning, Lily.”
“Iman, bangunlah. Dah subuh ni...”
Iman menghela nafas sebelum perlahan-lahan membuka matanya, “You should
say good morning to you too, Iman.”
Lily senyum, “Good morning to you too, Iman.”
Iman tersenyum sebelum tangannya yang melingkari tubuh Lily dialihkan.
Lily cepat-cepat bangun dan ingin berlalu ke tingkat atas. Iman pantas mencapai
lengan Lily, “Kalut sangat nak pergi mana?”
Lily menggaru kepala yang terasa gatal, “Er... siap-siap. Nak solat.”
Iman senyum. Dia tahu sebenarnya yang Lily malu. Saja je... “Jom solat
sekali.”
“Hah?” Lily angkat kening.
“Solat. Sekali. Jom?” Iman mengangkat keningnya kembali, “Awak nak saya
ulang lagi ke?”
Lily ketawa lantas menggeleng, “Okey!”
Usai
solat subuh berjemaah, Iman kembali berbaring di atas katil. Lily pula melipat
sejadah yang dia dan Iman gunakan tadi, “Iman.”
“Ya?”
“Kita jadi ke balik kampung pagi ni?”
Iman mengangguk walaupun matanya terpejam, “Jadi, insyaAllah.”
“Balik hari aje ke?”
“A’ah. Balik hari je.”
Lily mengangguk, “Ibu marah saya lagi ke?”
Iman pantas membuka matanya lalu dia duduk dan terus memandang Lily,
“Kenapa ibu nak marah awak?”
“Awak dah lupa ke?”
Iman pandang Lily, meminta jawapan.
Lily senyum tawar, “Bila saya keguguran kali ketiga, ibu marah saya.
Ibu kata saya sengaja buat-buat terjatuh sebab saya tak nak ada baby. Ibu cakap
saya tak sanggup nak berkongsi kasih sayang awak dengan baby.”
Iman tersentak lantas dia mendekati Lily. Tangan Lily dicapai dan
digenggam erat, “Ibu emosional waktu tu. Ibu kan dah lama nak cucu, sebab tu
dia macam tu.”
“Saya...” Lily pandang Iman, “Saya pun dah lama nak ada anak, Iman...”
Iman ketap bibir, “Lily, listen to me. Kita sama-sama tahu apa yang ibu
cakap tu tak betul. Awak terjatuh, Lily. Bukan salah awak. Allah lebih
mengetahui segalanya.”
Lily tundukkan kepalanya. Air matanya tiba-tiba mengalir, “Saya
dengar... malam yang saya keluar dari hospital tu. Saya dengar... ibu suruh
awak kahwin lain...”
“Lily...”
“Saya... saya sedih sangat Iman, waktu tu!”
Iman tak menunggu lama menarik Lily ke dalam pelukannya, “Maafkan ibu,
Lily.”
Lily menangis di dada Iman, tak mampu menahan air matanya dari
mengalir, “Lepas seminggu ni... mesti ibu gembira kan? Awak akan lepaskan saya
dan kahwin dengan Jun. Pasti dia suka...”
“Lily...” Iman mengeratkan pelukannya, “Jangan cakap macam ni...”
“Iman...” Lily membalas pelukan Iman, “Saya tak nak berpisah dengan
awak...”
Iman menepuk belakang Lily berkali-kali. Saya takkan berpisah dengan
awak, Lily. Hanya maut saja yang akan memisahkan kita nanti. Saya janji...
Lily
membuang pandangannya pada hutan menghijau di kiri jalan. Hatinya resah. Sudah
lama dia tidak berjumpa Puan Melissa. Kali terakhir dia berjumpa Puan Melissa
adalah ketika dia keguguran. Selepas itu, Puan Melissa tak sudi lagi bertandang
ke rumah mereka.
“Lily...”
“Hmm?”
“Awak fikir apa tu?”
Lily pandang Iman lantas dia tersenyum, “Tak ada apa-apa.”
“Nak share dengan saya?”
Lily menggeleng, “Saya okey je, Iman.”
Iman akhirnya mengangguk. Dia risau melihat Lily sebenarnya. Nampak
saja dia tenang tapi pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan di hati, “Lily...”
“Ya?”
“Kita ke kubur dulu, ya?”
Lily terus berpaling memandang Iman. Bibirnya digigit lantas dia
mengangguk, “Okey.”
Perjalanan mereka diteruskan tanpa sebarang kata. Lily melayan perasaan
sendiri, Iman juga. Yang hanya kedengaran adalah celoteh penyampai radio.
Setengah jam kemudian, kereta milik Iman berhenti di sebuah kawasan
tanah perkuburan. Iman menoleh pada Lily yang sudah terlena, “Lily...”
Lily terus membuka matanya, “Dah sampai?”
Iman mengangguk, “Jom?”
Lily mengangguk lantas dia keluar dari kereta dan diikuti oleh Iman.
Lily ikut saja langkah Iman selepas itu sehinggalah mereka sampai di sebuah
kubur.
Lily tekup mulutnya. Sebak mulai berkepung di dadanya. Iman memeluk
bahu Lily, cuba menenangkan Lily sebelum tikar yang dibawa bersamanya
dibentangkan di atas tanah, “Jom, duduk.”
Iman menghulurkan sebuah buku yang mengandungi surah Yasin kepada Lily,
“Jom baca Yasin pada Izuan.”
Lily mengangguk lantas buku yang dihulur Iman, ditarik. Iman memulakan
bacaannya dengan surah al-Fatihah sebelum mula membaca surah Yasin.
Lily pula mengikut bacaan Iman dengan tersedu-sedu. Air matanya semakin
laju mengalir. Izuan, mama datang sayang...
“Iman...”
Iman pantas
menggenggam jemari Lily, “Lily...”
“Hai...” Lily
ukir senyum.
Iman turut
mengukir senyum, “Hai, sayang.”
“Baby girl ke
boy?” Tanya Lily.
“Kita dapat
baby boy, sayang.”
“So, baby ikut muka siapa?”
Senyuman Iman
mati sebelum membelai rambut Lily, “Dia ikut muka mama dia.”
“Mesti dia
kacak, kan? Macam papa?”
Iman
mengangguk, “Dia kacak, tapi dia ikut muka mama dia. Comel sangat...”
“Saya nak
tengok baby, boleh Iman?” Lily cuba bangun dari baringnya.
Iman ketap
bibir sebelum menahan Lily dari bangun, “Sayang, awak kan lemah lagi?”
“Saya nak
tengok baby. Saya nak pegang dia. Nak cium dia,” pinta Lily, separuh merayu.
Iman menghela
nafas, “Sayang...”
“Kenapa ni,
Iman?”
Iman pegang
pipi Lily, lama. “Sayang...”
“Iman?” Lily
rasa tak sedap hati tiba-tiba.
“Baby....” Iman
tunduk mencium ubun-ubun Lily, “Baby... lemas dalam perut awak. Awak tiba-tiba
pengsan, sayang. Baby tak sempat nak keluar, awak pengsan. Baby, tak sempat...”
Lily tekup
mulut, “Iman...”
“Saya minta
maaf, sayang!” Iman meraih Lily ke dalam pelukannya, “Saya minta maaf.”
Lily terus
menangis di bahu Iman. Baby, maafkan mama...
“Lily,
jangan menangis dah. Kesian Izuan,” Iman mengesat air mata Lily yang masih
mengalir di pipinya.
Lily mengangguk namun dadanya masih terasa sebu. Masih dia ingat
kenangan itu. Kenangan di mana dia menangis di bahu Iman selepas dia dapat tahu
bayinya lemas di dalam perut. Dia hampir meroyan namun Iman yang sentiasa
memberi sokongan di sisinya buat dia kembali normal dan hidup seperti biasa.
Bayi mereka yang lemas itu berjaya dibawa keluar oleh doktor di
hospital. Sempat dia mencium dan memeluk bayi itu sebelum Iman menanam bayi
tersebut di tanah perkuburan ini. Izuan yang disebut Iman itu adalah nama yang
ingin Lily beri kepada bayi tersebut. Oleh kerana itu, mereka lebih senang memanggil
bayi tersebut dengan nama Izuan.
Selepas Izuan, Lily mengandung lagi namun sayangnya kandungannya tidak
bertahan lama. Tiga kali dia mengandung, tiga kali juga dia keguguran.
Lily pegang batu nisan yang terpacak di atas kubur itu, “Izuan, doakan
mama ya, sayang? Izuan tunggu mama di sana, ya sayang? Maafkan mama, sayang...”
Iman pantas memeluk bahu Lily, “Izuan pasti berbangga punya mama macam
awak. Kuat dan tabah.”
Lily senyum lalu dia memeluk Iman, dan
tangisannya dihamburkan di bahu Iman...
p/s: maaf ya, saya memang jenis lambat sikit kalau update cerita. :)
p/s: maaf ya, saya memang jenis lambat sikit kalau update cerita. :)
Haishhh...sdihnyw...sbar yw lily
ReplyDeleteSian lily... Sabar ye...
ReplyDeleteNak lagiii pleaseee new entry pleaseee
ReplyDeleteSedih...
ReplyDeleteSedihhnyeee....akakk...nakk lagiii... ~T_T~
ReplyDeletenak lagi...hehe
ReplyDeletekak sambung la cepat . tak sabar nii . hehehe
ReplyDeletekak sambung la cepat . tak sabar nii . hehehe
ReplyDeletemasih terus menunggu pengakhiran hubungan Iman n Lily..... akan terus bersama dan hidup bahagia bersama zuriat mereka atau sebaliknya....
ReplyDeletenk lg!!
ReplyDeletesmbung cpt ya.. saya tunggu akk punya mini novel seterusnya..
Nk lg..first komen..
ReplyDelete#hana
Sedih btol laa
ReplyDeleteBila novel fly nk kluar?
ReplyDeleteNk smbungn fly please!!! I'm addicted to read it...
ReplyDeleteCpat2 buat smbungn dia n pstikn smpai ending...hahaha...
Nice writing....
Bila novel fly kuar kak ? X sabar nak baca sambungan dia. Novel tu sedih. Menangis saya baca 😂
ReplyDelete